“MY SUN”
Oleh : Haris Ihkwan Abdullah
Bintang
Sebuah mimpi seperti matahari, dapat menyinari seluruh umat ini, sinarnya membuat bunga mekar, sinarnya membuat kebahagian bagi
semua insan. Itulah
matahariku, yang
ingin ku gapai dihari nanti. Akan
tetapi saat malam menyelimuti, cahaya
matahari tidaklah seindah pada siang itu,
matahari
akan menitipkan seberkas cahayanya pada rembulan, untuk
membuat setiap orang canda tawa.
Dia
mendekat, dia
mendekat dengan langkah kaki sedikit beranjak.
“ Bintang..!” suara yang tak asing bagiku, aku yakin itu Deni dengan seragam
barunya. Dia berlari dari jalan Melon dekat
penjual pulsa didepan sana.
“Bin… ini kaca mata mu, ketingalan di rumahku,” kata
Deni dengan nada kelelahan, saat
dia baru tiba dihadapanku.
“Oh.. iya terimakasih ya,” sahut ku sambil ku pakai kaca
mataku dan baru ku lihat Deni dengan jelas.
“Yuk..berangkat bareng,” kata Deni sambil meranarik tanganku menuju kesekolah.
Deni
adalah sahabat dan sekaligus kakak bagiku,
awal
pertemuan kita saat dua tahun lalu saat kita dihukum berdiri dan hormat didepan
bendera merah putih karna tidak membawa atribut aneh saat MOS atau Ospek masuk
SMA.
Saat
hukuman selesai, kami
banyak berbincang-bincang dan disitu kami merasa mempunyai kesamaan hobi dan
visi misi yang membuat kami menjadi akrab sampai kelas XII sekarang ini.
Canda
dan tawa sering muncul ketika kita bersama,
aku
ingat saat itu Deni sedang memboncengku pulang saat hujan deras dan ditikungan
maut di Jalan Duku
itu kami jatuh bersama,
saat
itu aku langsung terbangun dari jatuhku dan mencari Deni, dan ternyata Deni juga khawatir
akan diriku, tawa
kami memuncak saat kami saling melihat muka yang penuh lumpur dan luka luka
ringan di badan kami.
Tapi tak jarang juga
kita marah-marahan, apalagi
saat kita sudah kelas XI saat handphone seharga 4 juta hasil tabunganku kupinjamkan Deni dan rusak jatuh ke
closet wc saat handphone ku digunakan untuk telepon Lati saat Deni sedang
memakai celana dan dia hanya tersenyum-senyum saat keluar dari wc setelah
menjatuhkanya.
“Woy..!” sentak Deni.
“Eh..iya,” sahutku
kaget, tidak terasa kami sudah didepan
kelas.
“Iya apanya???” dari tadi nglamun terus, nanti kesambet si Dodo baru tau rasa.”
“Enak ajah!”
Belum
kering bibir ini, terlihat
laki-laki
berbadan besar, sebesar
bis keluarga jurusan Cilacap-Purwokerto berjalan menuju arah kami, siapa lagi kalau bukan si Dodo anak Kepala sekolah itu, anak yang paling bandel dan sombongakan
statusnya sebagai anak kepsek di SMA ini. dia berjalan sampai
melewati tempat kami berdiri, dan
dengan tanpa merasa berdosa
sedikitpun dia berkedip sambil mengeluarkan lidahnya, seakan dia sedang melihat
ayam goreng baru matang pada ku dan terus berlalu.
“Hahahaha…memang jodoh itu tidak kemana,” ledek Deni.
“Ihh..” kataku
sambil mengeliat-geliatkan badan.
“Hahahah.. rasakan tuh, jurus kedipan Si Dodo.”
“Sudahlah jangan dibahas. Eh,,lihat tuh,
siapa yang sedang duduk di depan perpus?” kataku mengalihkan pembicaraan sambil
menunjukan telunjuk jariku kepada seseorang.
“LATI…!” kata Deni dengan nada lirih
setelah diamenengok kebelakang.
“Lattiiiii…!!!” panggilku keras sembari
melambaikan kedua tanganku.
Latihanya tersenyum dan melambaikan tanganya
kepadaku dan Deni. Terlihat wajah polos dan kulit kekuningan Deni sedikit memerah
di bagian pipi. Bagaimana tidak gerogi, Lati adalah pujaan
hati seorang Deni sejak masih duduk di bangku kelas X. Lati adalah wanita idaman semua
pria dia SMA ini, Selain
Lati cantik, kepribadiannya
yang halus, kecerdasanya
yang tidak diraukan lagi, Lati
mempunyai lesung pipi yang membuat dia lebih manis saat dia tersenyum. Tapi yang membuat aku bingung adalah sudah hampir 3
tahun memendam rasa, Deni sampai sekarang belum pernah bilang kalau dia suka dengan
Lati. Mungkin karena dia merasa kurang
percaya diri akan dirinya.
Deni
dan Lati bertemu ketika Lati membayarkan Baso pesanan Deni saat Deni lupa
membawa dompet di kantin. Sejak
itu pula Deni merasa jatuh cinta pada Lati.
Deni
hampir setiap hari sms dan mention
Lati melalui Twitter.
***
Ketika
bel pulang berbunyi, kami
sepakat untuk pergi ke kantin sekolah.
“Kamu mau pesen apa, Bin?”
“Aku pesen mie ayam
sama es jeruk Den.”
“Oh ya…karena aku lagi baik,biar aku ajah
yang telaktir.”
“Yang bener?oh ya udah
makasih ya den, semoga
si Lati tambah cinta sama kamu.”
Pesanan sangat cepat datang, kita makan sembari
berbincang-bincang masalah wisuda atau perayaan kelulusan kami dari SMA. Ketika makanan kami habis tiba-tiba
Deni memejamkan matanya dan tangan kananya memegang kepala, seketika dia batuk dengan keras, wajah Deni tak seperti biasanya, dia langsung lari ke kamar mandi, aku langsung mengikutinya dan
alangkah terkejutnya aku saat tangan kiri dan mulut Deni berlumuran darah.
“Deni, kamu kenapa?”
“Bintang.., saat ini aku sedikit tidak enak
badan,” jawabnya lirih.
“Aku antar kamu ke UKS sekarang.“
“Tidak usah, Bin.., aku tidak apa-apa, ayo kita pulang saja.”
“Pulang? kau gila? mulut mu penuh darah, berarti kau sakit, akan ku bawa kamu ke UKS,” jawabku
sambil kutarik tangan Deni.
“BINTANG..!!” aku tidak apa –apa, aku bisa mengukur diriku dan kau tau itu,” Deni
mengatakanya dengan nada yang keras,
sambil
melepaskan tanganku.
Aku terdiam, aku tidak pernah
melihat Deni sebegitu marahnya, ku
putuskan untuk menundukan kepalaku.
“Hmm…maaf
Bin..aku membentakmu,” kata Deni dengan nada lirih sambil
memegang pundakku.
“Tak apa Den, aku
terlalu memaksamu. Kalau
itu yang kamu inginkan, ayo
kita pulang.”
Ditengah
perjalanan wajah Deni terlihat begitu pucat,
aku
dilanda akan kekhawatiran sepanjang jalan menuju tempat tinggal Deni yang
jaraknya kira-kira 300 m dari sekolahan.
Semenjak
aku dan Deni jatuh dari motor di hari itu,
memang
Deni jadi menjadi sering sakit-sakitan.
Sesampainya
di tempat tinggal Deni, Neneknya langsung menyambut dengan wajah
yang khawatir.
“Kau
kenapa Den? apa yang terjadi padamu?” tanya Nenek dengan muka kekhawatiran.
“Dia
sakit nek, tadi
di kamar mandi sekolah Deni....”
“Aku
baik baik saja, cuman
kena demam sedikit kok nek,” sahutnya menyambung perkataanku
yang belum usai kuucap.
Deni dibaringkan ditempat
tidur dikamarnya yang penuh lukisan lukisanya itu. Dia gemar melukis, kegemaranya itu diturunkan oleh
ayahnya yang sudah meninggal besama ibunya karna kecelakaan 6 tahun lalu. Semenjak itu Deni hanya tinggal
dengan neneknya dan menjadi cucu yang paling disayangi.
“Kau
benar tidak apa-apa?” tanyaku.
“Kapan
sahabatmu ini berbohong?”
“Aku
khawatir dengan mu,
Den.”
“Sudahlah…aku tidak apa-apa. Hmm..nanti malam kau ada acara?”
“Tidak
sih, ada apa?”
“Nanti
malam jam 8, jalan-jalan
ke tanggul sungai dekat jembatan yuh.”
“Kamu
kan masih sakit, kalau
kamu kena angin malam kamu bisa tambah sakit.”
“Itu
justru membuatku lebih baik.”
“Hm..ya sudah, asal kamu senang,” jawabku
pasrah, aku tidak ingin membuat Deni marah
yang kedua kalinya.
***
Aku
tepati janjiku. Aku
siap untuk berangkat dengan memakai kaos hijau berlapis
sweater pemberian Deni saat ulang
tahunku yang keenam belas. Tak lama menunggu suara klakson
terdengar dari depan rumah. Aku
langsung merapikan pakaianku dan kini aku sudah siap.
“Ayah–ibu , Bintang pamit mau jalan-jalan ke
tanggul dengan Deni.” pamitku, ketika
ayah dan ibuku sedang duduk santai di ruang keluarga.
“Kamu
sudah makan malam Bin?” tanya Ayah.
“Sudah
ayah,” sahutku sambil bergegas keluar.
“Jangan
lupa titip salam Ibu
pada nenek
Deni..!” teriak Ibu.
Aku
hanya mengcungkan kedua jempolku,
sembari
membuka pintu.
Keluargaku
dengan keluarga Deni memang amat dekat.
Deni
adalah satu-satunya orang yang diperbolehkan ayah dan ibuku untuk membawaku
jalan-jalan dimalam hari. Ayah
dan ibuku sudah tau kalau aku dengan Deni adalah sahabat yang dekat.
“Nah…keluar juga kamu Bin, lama
banget kamu dandanya kayak mau kondangan.”
“Itu tuh ibuku titip salam
buat si Nenek.”
“Oh, iya sip.”
“Gimana
kamu Den? sudah sembuh? ” tanyaku
sembari membonceng.
“Udah, kamu tenang
saja, aku sudah sehat kok.”
Tanpa membuang waktu, stater dinyalakan
oleh Deni, kami siap tuk pergi
ke tanggul. Kami sejak dulu sangat sering pergi ke
tanggul sungai dekat jembatan
di Jalan Durian itu, hampir sepulang sekolah
kita tak lupa mampir kesana. Aku masih ingat ketika aku mendapat nilai 50 saat ulangan
fisika.Saat itu aku duduk di atas rumput sambil mengambil nafas
dalam-dalam dengan muka yang kurang ceria. Berbeda dengan Deni, dia tak secemberut diriku, bagaimana
tidak? Dia mengantongi nilai 78. Melihat wajahku yang kusut diiringi
dengan air mata yang tak luput dari suasana hatiku, Deni
tiba-tiba berkata padaku.
“Bin…tau tidak? Kata Dodo kalau Bintang sedang cemberut jadi kelihatan lebih
cantik loh, bahkan lebih cantik dari pada Katty
perry,” hiburnya. Namun hal
itu tak mengubah perasaanku.
”Mana coba nilai yang membuat mu seperti ini?” lanjutnya
sambil menggledah
isi tasku.
”Ini???” katanya ketika menemukanya sambil
memperlihatkanya padaku. Ketika itu aku hanya termanguk, dan di saat itu pula
tiba-tiba dia mengsobek-sobek lembar jawabku dan
menempelkannya dibawah hidung dan bergaya
seperti Pak
Sugeng, Guru
Fisikaku.
“Hello student how are you? Physic is very beautiful hahahaha,” kata
Deni sambil mengikuti gaya bahasa dan gerak tangan seperti Pak Sugeng.
“Sttt..!! Tidak sopan kamu, Den,” jawabku
tersenyum.
“Nah
begitu dong. Jangan
terlalu suram, ayo
senyum. Kamu
mau jadi korban kedipan si Dodo?
hahaha..”
Akhirnya
kita pun serentak tertawa dan disusul dengan canda, goyangan dan teriakan kami. Hmm.. Itu benar mengenang.
Tak
terasa aku dan Deni sudah sampai tanggul,
kita
turun dan langsung aku
hentakan tubuhku ke rumput
yang disusul dengan Deni yang langsung berbaring di sampingku. Kita menghirup nafas dalam dalam
dan menghembuskanya bersama dan disusul dengan tawa kami.
“Deni.”
“Iya?”
“Jika
kamu memilih, kamu
hidup di dunia ini ingin menjadi
seperti apa?”
“Hmm… aku ingin jadi bulan yang disana
itu,” jawabnya sambil menunjuk
“Aku
ingin dapat terus terlihat indah bersama bintang, yaitu
kamu Bin. Kalau kamu?” lanjutnya.
“Aku
ingin seperti matahari.”
“Kenapa? Bukannya lebih cocok kamu jadi bintang
saja?”
“Tidak, aku tidak ingin seperti bintang. Walau sinarnya terang dan begitu
indah, bintang tidak
dapat menyinari dunia.
Bintang
tidak dapat memberi manfaat dan kebahagiaan yang besar kepada semua orang
disaat malam datang.”
“Terus,
kenapa kamu ingin menjadi matahari?”
“Aku
ingin seperti matahari karena walaupun sinarnya tak seindah bintang dan sinarnya dapat menyinari seluruh
dunia. Sinarnya
dapat memberi manfaat dan kebahagiaan kepada orang lain. Bahkan saat matahari terlelap, sinar yang indah itu pun masih
dapat dirasakan oleh orang-orang melalui seberkas cahayanya yang dititipkan
kepada sang bulan.”
“Uh,,, aku tidak tau bagaimana kamu memikirkan
itu,” jawab Deni dengan nada santai.
“Hmm,” jawabku sembari tesenyum.
Hampir setengah jam kami berada di
tanggul tersebut. Dan sekitar 2 jam lagi kami akan menghabiskan waktu di atas rumput
tanggul ini.Kami bermain tebak-tebakan, bercanda, membicarakan Lati dan beberapa
wanita lain dan tak jarang juga handphone. Kami tak luput dari kebersamaan kami
yang hampir tiap menit kita selalu memasang wajah-wajah aneh dan narsis untuk difoto.
Kami tidak berdua, kami menghabiskan waktu bersama ribuan bintang dan seorang rembulan
yang ada diatas sana.
Ditambah lagi dengan serangga-serangga dan beberapa kodok
yang senantiasa mengisi kesepian dengan suara-suara mereka.
Tak
berapa lama, tiba-tiba
handphone Deni berbunyi tanda SMS masuk.
Deni
membukanya perlahan-lahan dan membacanya dengan sangat serius.
“Dari
siapa,
Den?” tanyaku penasaran.
Namun
Deni hanya diam tidak menghiraukan pertanyaanku.
“Deni!” kataku dengan nada yang sedikit
keras.
“Ini SMS dari Bunga, temannya Lati,” jawabnya dengan nada
dan ekspresi tercengang seperti baru melihat wanita cantik.
“Dia bilang kalau Lati dengan pacarnya baru saja putus..!!!” lanjutnya
dengan nada keras, ekspresi
senang dan sedikit loncatan rasa kegembiraan.
Deni meluapkan
kegembiraanya dengan menari-nari dan bernyanyi-nyanyi di depanku. Aku tertawa sendiri melihat Deni. Aku senang melihat Deni senang. Deni belum pernah sesenang ini
sebelumnya.
“Kapan?” tanyaku membuat tarian Deni
berhenti.
“Kapan apanya?”
“Kapan kamu akan bilang
kalau kamu benar-benar sayang dengan Lati?”
“Bintang... Semua ini tidaklah harus diungkapkan
dengan kata-kata, iya
kan?”
"Memang benar
seperti itu, tapi
Lati
itu perempuan. Lati
butuh tindakan nyata.”
“Hmmm… Jadi, kamu
ingin aku mengatakan itu semua pada Lati ?”
“Besok pagi Lati ada latihan menari di sekolah bersamaku, sekitar jam 10 kita selesai
latihan. Aku harap kamu tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Diterima
atau tidaknya dirimu, menurutku
tidaklah begitu penting. Tapi
yang terpenting menurutku, kamu
sudah berani mengatakan isi hatimu. Tapi tenang saja, fisikmu sudah mendukung kok.”
“Oke kalau begitu. Kan aku luluhkan hatimu Lati” jawabnya dengan membusungkan
dadanya seakan seorang pahlawan yang akan menyelamatkan tuan putri.
“Berlebihan kamu, tapi baguslah kalau begitu,” kataku sambil tersenyum.
Tak terasa 2 jam
berlalu, jarum jam menunjukan jam 22:30. Kami bergegas untuk pulang ke rumah sebelum ayah dan ibuku marah.
***
Jarum
jam sudah mendekati angka sepuluh pagi,
tapi
si Deni belum juga kelihatan batang hidungnya yang pesek itu. Dia benar-benar payah. Padahal tadi malam tinggi sekali dia
bicaranya.
“Bintang..” Lati menyapaku.
“Iya, ada apa?” Jawabku sedikit terkejut.
“Kamu
sedang apa duduk-duduk di depan kelas? Menunggu seseorang?”
“Ah, tidak. Aku hanya sedang istirahat saja.”
“Oh,seperti
itu. Ya
sudah aku pulang dulu ya,
Bin.”
“Ehhhhh... jangan!!” tegurku sambil memegang tangannya.
“Kenapa, Bin?” tanyanya
dengan wajah heran.
Belum
sempat aku jawab dari jauh terlihat seseorang
yang tak asing sedang berlari menuju arah kami.
“Nah... Ada seseorang yang ingin berbicara
padamu. Tuh...” jawabku lega dengan menunjuk jariku
pada Deni yang sedang berlari.
Deni
terlihat terburu-buru sekali, apa
lagi dia sudah melihat Lati yang hampir pulang. Deni
berlari begitu cepat seperti saat dia mengembalikan kacamataku kemarin. Dia berlari dari ruang 14 ke ruang
tari kurang dari lima belas detik.
Dia
memang pelari yang handal.
“Eh.. kemana saja kamu, jam segini baru datang?” tanyaku dengan nada sedikit keras.
“Ha..ha..ha..ha,
motorku mogok dan tidak ada bengkel. Makanya,
kutuntun motorku sampai sekolah,” jawabnya dangan nada
tersendat-sendat karena kelelahan.
“Hai
Deni,” sapa Lati menyambung.
“H… ha… hai Lati,” jawab
deni sedikit kaku.
“Ya
sudah.. aku mau istirahat dan duduk-duduk dulu
di tanggul. Good
luck
ya Den. Aku yakin kamu bisa. Sampai jumpa Lati, sampai jumpa Deni,” kataku
sambil melambaikan tangan.
“Iya... hati-hati,” jawab
mereka bersamaan.
***
Deni
Bintang
pergi meninggalkan kami berdua. Aku tidak tau
apa yang dia pikirkan saat dia pergi. Padahal ini
tidak ada di skenario tadi malam.
Kupandang
wajah Lati dengan rasa takut dan malu. Jujur baru kali
ini aku merasa jantungku seperti mau meledak. Padahal
kita sering SMS maupun teleponan, tapi sangat
berbeda rasanya ketika harus berhadapan seperti ini.
“Deni
kau baik-baik saja?”
“Oh
iya, Aku mau bicara sesuatu padamu,” jawabku sedikit
terkejut.
“Iya???”
“Ehm.. Kamu pernah menyadari tidak kalau kamu cantik?” tanyaku
salah tingkah.
“Maksudmu?” tanyanya
sambil mengkerutkan kening.
“Iya, maksudku
kamu cantik dan itu membuat aku cinta sama kamu,” jawabku
spontan.
“Kalau
aku tidak cinta sama kamu gimana?”
Dunia
terasa gelap. Hatiku terasa tersayat-sayat oleh silet. Hampir setengah menit aku menahan nafasku mendengar
kata-kata itu. Aku hanya diam dan menunduk.
“Deni, kamu itu orangnya baik. Dan
itu juga yang membuat aku juga sayang padamu.”
Aku
seperti mendengar suara dari surga. Pukullah pipiku sekencang mungkin, agar
aku tahu ini bukanlah mimpi.
“Kamu
serius??”
Lati
hanya menganggukan kepalanya.
Aku
benar-benar bahagia hari ini. Aku belum pernah
merasakan rasa gembira yang teramat seperti ini sebelum ibuku membelikan video
game saat usiaku 7 tahun. Inginku peluk Nenek
dan Bintang. Inginku menari-nari seperti tadi malam. Tapi aku harus menjaga harga diriku didepan Lati yang
sekarang menjadi pacarku. Lati hanya tersenyum melihat itu semua.
***
Sudah
genap dua minggu kita menjalin hubungan.
Hampir
disetiap malam aku pergi jalan-jalan dengan Lati. Sudah
kita lewati tahap perkenalan-perkenalan yang lebih dalam dengan seringnya kita
berbincang dan membicarakan diri kita sendiri. Bahkan
kita sudah mempuyai pangilan sayang, ’Lade’ yang artinya Lati Deni untuku dan ‘Dela’ yang berarti Deni Lati
untuk Lati.
Malam
ini adalah malam minggu. Kita
sudah berjanji untuk pergi menonton bioskop di jalan Rajawali dekat sebuah mini
market.
“De, kamu tidak dingin?” tanyaku.
“Sedikit, tapi naik motornya jangan cepat
cepat dong, aku
takut.”
“Iya, pakai helm ini saja biar tidak
dingin,” kataku sambil kulepas helm ku.”
Bioskop
berjarak 300m lagi, aku
harus sampai disana kurang dari 10 menit lagi, kalau
tidak, bioskop akan tutup.
Ku
sedikit menambah kecepatanku, dihadapanku
tinggal ada satu tikungan dan bioskop pun akan terlihat. Aku membelokan arah setangku ke arah
kiri dan alangkah kagetnya diriku ketika melihat seorang kakek-kakek sedang
menyebrang.
Aku
terkejut, aku
segera menghindar akan tetapi itu membuatku kehilangan kendali dan akhirnya
kita berdua jatuh diatas kasarnya permukan aspal. Aku
terpental jauh, aku
menabrak tumpukan batu kerikil
di pingir jalan.
Aku
memuntahkan darah dari mulut lagi,
pandanganku
buram, bibirku tak lelah menyebut Tuhan, di tengah kekhawatiranku akan
keadaan Lati sekarang.
***
Dimana
aku ini? Dimana orang-orang berada? dimana nenek? semua terlihat putih, tempat macam apa ini? apakah ini yang disebut alam
kematian?
Hatiku
penuh dengan pertanyaan, aku
berjalan didalam tempat yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku berteriak sekeras mungkin
dengan harapan seseorang akan muncul.
Aku
terus berjalan sambil memanggil Nenek sembari ku telusuri jalan
setapak ini.
Tak
lama ku berjalan aku melihat seorang perempuan seumuranku sedang duduk dengan
kepala menunduk. Perempuan
itu tak asing dimataku, itu
seperti Bintang.
“BINTANG..!!!!”panggilku
sembari berlari mendekat.
Mendengar
panggilanku Bintang mengangkat kepalanya dan berdiri.
“Bintang
kenapa kau ada disini? tempat
apa ini? badanmu dingin sekali?” tanyaku sambil memeluknya.
“Deni, bagaimana keadaanmu sekarang? bagaimana hubunganmu dengan Lati?” tanyanya lirih.
“Aku
dan Lati baik-baik saja Bin.”
“Sukurlah..Den aku ingin memberimu sesuatu,” katanya
sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
“Ini...Terimalah,” lanjutnya
sembari tangannya memberikan sebuah benda yang bersinar ke tanganku.
“Apa
ini?”
“Kau
pernah berkata padaku kau ingin seperti bulan, dan
aku pernah berkata padamu, aku
ingin seperti matahari. Tapi
matahari sepertiku hanya akan memancarkan cahayanya pada siang hari, dan jika malam datang matahari akan
terlelap dan akan menitipkan cahayanya pada bulan, yaitu kamu Den. Dan
aku rasa sekarang saatnya aku terlelap dan itu adalah seberkas cahaya itu.”
“Kau
tak berubah, kau
masih menggunakan bahasa-bahasa yang sulit aku pahami,” jawabku
jujur.
Bintang
hanya tersenyum mendengar jawabanku.
Kulihat Bintang terus menurus. Dia
menjauh, semakin menjuh, semakin kulihat dia, semakin jauh pula dirinya. Ku
coba melangkahkan kaki ku, terasa berat sungguh kakiku ini. Cahayanya redup, mungkin
karena cahayanya telah di berikan padaku.
***
Mataku sedikit sakit saat ku buka. Terlihat
dengan samar pandangan wajah nenek penuh harapan dan pandangan semua sanak
saudarku yang terlihat khawatir.
“Cucuku kamu sudah sadar? Kau tak
sadar selama beberapa hari,” kata Nenek lirih.
“Nenek,” jawabku singkat sambil
merasakan sakit kepala yang masih kurasa.
Ketika sadar aku hanya diam. Nenek
dan saudaraku tidak banyak bertanya kepadaku, mereka tahu aku sedang tidak
ingin ditanyai.
“Nenek,” panggilku lirih.
“Iya ada apa? kau mau minum?”
“Bintang, Bintang dimana dia
sekarang?”
“Ehm….dia baik-baik saja, dia sedang
pergi,” jawab ragu-ragu.
Hampir sepuluh hari aku dirawat di
ruamah sakit ini, dan sepuluh hari juga aku tidak bertemu Lati yang sedang
dirawat dirumah sakit yang berbeda. Aku juga belum pernah bertemu Bintang, dia
belum juga pulang. Dasar sahabat yang kurang baik, masa sahabatnya yang habis
kecelakaan malah pergi, memangnya dia tidak rindu padaku apa.
Keesokanya dokter bilang hari ini aku
sudah sehat dan boleh pulang, bersamaan Lati yang sekarang juga diperbolehkan
pulang. Setelah aku menginjakan kakiku di lantai rumah, sungguh terasa berbeda
dengan suasana di rumah sakit. Tidak ada bau obat dan inpus disana sini.
Tak lama dari setibanya aku pulang,
seseorang mengetuk pintu rumah. Aku buka pintu dan terlihat seorang wanita
dengan lesung pipi dan sebuah luka di lututnya tersenyum padaku.
“Lade tidak lama bertemu,” katanya
langsung memeluku.
“Aku rindu padamu,” lanjutnya.
Tetes air mata berjatuhan. Aku lepas
pelukan Lati dan kupeluk Lati lagi. Aku bigung bagaimana harus mengungkapakan
rasa rinduku padanya. Tak lama kami bersama, aku teringat pada Bintang, aku
yakin dia pasti sudah pulang. Aku dan Lati memutuskan untuk pergi ke rumahnya
sekarang.
“Nenek…Deni pamit ke rumah Bintang,”
pamitku sambil menuju pintu keluar.
“Tunggu dulu Deni !” jawab nenek
sedikit keras.
“Ada apa nek?”
“Sekarang kalian duduk di depan
nenek sini, ada yang ingin nenek bicarakan pada kalian berdua.”
Mendegar perkataan nenek, kami
mengurungkan niat kami, dan kami pun duduk didepan nenek dengan wajah ingin
tau.
“Ini soal Bintang,” kata nenek
membuka pembicaraan.
“Hah? Bintang nek?”
“Bintang adalah anak yang baik, dia
selalu tersenyum ketika bertemu nenek, dia selalu membantu nenek menyapu,
mencuci piring dan membersihkan kamarmu ketika dia datang dan kau sedang pergi
dengan Lati. Kau beruntung mempunyai sahabat seperti Lati,” kata nenek sambil meneteskan air mata.
“Saat dia sedang membersihkan
kamarmu, dia teramat terkejut mendengar kalian berdua kecelakaan, sama terkejutnya
dengan nenek. Wajahnya teramat panik,
apa lagi saat dia menlihat kalian berdua terbaring penuh darah. Dia begitu
khawatir, air matanya menetes deras, dia mencoba membangunkan kalian berdua,”
lanjut nenek yang memebuat aku dan Lati menenteskan air mata.
“Saat dokter bilang kalau kau
mengalami pendarahan yang berat dan Lati mengalami keruskan dibagian mata
kirinya, semua saudarmu menangis dengan kencang, nenekmu ini lemas tak berdaya,
tantemu langsung pingsaan, semua orang menangis,” kata nenek saat tangis nenek
mengencang.
“Dan dokter bilang dalam waktu
kurang dari 1 jam kau tidak mendapat donor darah yang cukup, mungkin nenek
tidak bertemu kau lagi disini.”
“Dan disaat itu pula Bintang
langsung duduk disamping nenek yang sedang menangis. Dia memeluk nenek, dia berkata
pada nenek kalau dia akan melakukan apapun demi sahabatnya, yaitu kamu.”
“Apa yang Bintang perbuat nek?”
“Dia berlari menemui dokter, entah
apa yang dikatakannya sehingga dia terlihat begitu memaksa. Alangkah
terkejutnya kami semua ketika tahu kalau Bintang memutuskan untuk diambil
darahnya dan didonorkan padamu agar kamu tetap hidup. Kami mencoba menghentikan
dirinya karena terlalu beresiko. Namun apa daya, saat nenek menghentikanya, nenek melihat sisi lain wajah Bintang. Wajahnya
penuh tekad, nenek tak kuasa melihat wajahnya itu dan memperbolehkanya.”
“Namun…Tuhan berkehendak lain. Setelah
Bintang dioperasi, kondisimu semakin membaik, berbeda dengan Bintang yang
tubuhnya memucat. Kondisi tubuhnya tidak stabil. Saat itu dia sempat menyuruh
nenek mengambil pena dan selembar kertas, entah apa yang ditulis dia saat itu.
Kertas itu kemudian dilipat olehnya dan diberikan pada nenek untuk diserahkan
padamu suatu hari.”
“Nenek ingat betul kejadian itu,
saat itu Bintang terengah-engah, terlihat sulit sekali dia bernafas. Bintang
membisikan sesuatu pada dokter. Dia meminta dokter untuk mengambil mata kirinya
untuk Lati sebelum akhirnya Bintang pun….” Nenek tidak bisa melanjutkan
kata-katnya karena begitu derasnya air matanya yang keluar.
“Hanya ini amanat Bintang yang
diberikan pada nenek,“ kata nenek memberiku sebuah lipatan kertas.
Kuterima lipatan itu sambil berkali-kali
tanganku mengusap air mata ini. Aku dan Lati membukanya dengan perlahan.
Untuk
rembulan diatas sana.
Emosiku
memuncak, aku melihat rembulan hampir jatuh dari tempatnya. Ceroboh sekali
bulan itu, dia terlelap dalam tugasnya.
Untuk
rembulan diatas sana.
Sahabatku,
sejak dekatnya hubunganmu dengan Lati, hidupku menjadi lebih berarti. Takan kulihat
lagi wajah Deni yang muram. Sahabatku, sejak kedekatanmu dengan Lati kau jarang
menemuiku, kau jarang bercanda tawa lagi denganku, bahkan ditanggul aku harus
duduk sendiri tanpa hiburmu.
Untuk rembulan diatas sana.
Aku
titipkan cahayaku padamu, aku rasa ini sudah saatnya aku terlelap. Tugasku
untuk menyinari dunia sudah berakhir. Aku harap kau bisa menjaganya dengan
baik. Aku juga titipkan pengelihatanku pada Leni. Aku ingin, walau aku jauh
disini aku selalu melihatmu, ketika kamu tersenyum, ketika kamu sedih dan
ketika kau sedang mengerjakan tugas fisikamu.
Untuk
rembulan diatas sana.
Tetes
air mata… Mengalir di sela derai tawa, Selamanya kita… Tak akan berhenti mengejar… Matahari.
Aku menundukan kepalaku karena begitu
derasnya air mata ini mengalir. Lati menangis memeluk diriku yang saat itu dia
juga ikut membacanya. Aku bingung apa yang harus kukatakan.
***
Aku melihat kearah langit di tengah
rumput tanggul ini. Sangat sepi sekali rasanya, mungkin ini yang dirasakan oleh
Bintang saat itu.
“Bintang, kau memang bodoh,” kataku lirih.
Aku pandangi bintang-bintang
dilangit, diantara bintang itu terdapat bintang yang paling bersinar. Ku
pandangin bintang itu, aku yakin itu adalah Bintang yang sedang tesenyum pada
diriku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar