Quotes

---HIDUP BIARLAH BERBAKTI MESKIPUN TAK DIPUJI---NOBODY HAS THE WHOLE TRUTH.EVERYBODY HAS A PIECE OF EVERYTHING---BERSABAR ADALAH MENENANGKAN PERMUKAAN AIR BENING YANG SEDANG BERGETAR---KEDEWASAANMU BERKEMBANG DARI KESALAHAN YANG KAU SABARI DAN KEGAGALAN YANG KAU TABAHI---TERIMALAH BAHWA JIKA YANG KAU LAKUKAN ADALAH KEBAIKAN, KEBAIKANLAH YANG AKAN MENCARIKANMU JALAN---

Senin, 17 Juni 2013

Cerpen Persahabatan



“MY SUN”

Bintang
Sebuah mimpi seperti matahari, dapat menyinari seluruh umat ini, sinarnya membuat bunga mekar, sinarnya membuat kebahagian bagi semua insan. Itulah matahariku, yang ingin ku gapai dihari nanti. Akan tetapi saat malam menyelimuti, cahaya matahari tidaklah seindah pada siang itu, matahari akan menitipkan seberkas cahayanya pada rembulan, untuk membuat setiap orang canda tawa.
            Dia mendekat, dia mendekat dengan langkah kaki sedikit beranjak.
“ Bintang..!” suara yang tak asing bagiku, aku yakin itu Deni dengan seragam barunya. Dia berlari dari jalan Melon dekat penjual pulsa didepan sana.
“Binini kaca mata mu, ketingalan di rumahku, kata Deni dengan nada kelelahan, saat dia baru tiba dihadapanku.
“Oh.. iya terimakasih ya,” sahut ku sambil ku pakai kaca mataku dan baru ku lihat Deni dengan jelas.
“Yuk..berangkat bareng,” kata Deni sambil meranarik tanganku menuju kesekolah.
            Deni adalah sahabat dan sekaligus kakak bagiku, awal pertemuan kita saat dua tahun lalu saat kita dihukum berdiri dan hormat didepan bendera merah putih karna tidak membawa atribut aneh saat MOS atau Ospek masuk SMA.
            Saat hukuman selesai, kami banyak berbincang-bincang dan disitu kami merasa mempunyai kesamaan hobi dan visi misi yang membuat kami menjadi akrab sampai kelas XII sekarang ini.
            Canda dan tawa sering muncul ketika kita bersama, aku ingat saat itu Deni sedang memboncengku pulang saat hujan deras dan ditikungan maut di Jalan Duku itu kami jatuh bersama, saat itu aku langsung terbangun dari jatuhku dan mencari Deni, dan ternyata Deni juga khawatir akan diriku, tawa kami memuncak saat kami saling melihat muka yang penuh lumpur dan luka luka ringan di badan kami.
Tapi tak jarang juga kita marah-marahan, apalagi saat kita sudah kelas XI saat handphone seharga 4 juta hasil tabunganku kupinjamkan Deni dan rusak jatuh ke closet wc saat handphone ku digunakan untuk telepon Lati saat Deni sedang memakai celana dan dia hanya tersenyum-senyum saat keluar dari wc setelah menjatuhkanya.
“Woy..!” sentak Deni.
“Eh..iya, sahutku kaget, tidak terasa kami sudah didepan kelas.
“Iya apanya???dari tadi nglamun terus, nanti kesambet si Dodo baru tau rasa.
“Enak ajah!”
            Belum kering bibir ini, terlihat laki-laki berbadan besar, sebesar bis keluarga jurusan Cilacap-Purwokerto berjalan menuju arah kami, siapa lagi kalau bukan si Dodo anak Kepala sekolah itu, anak yang paling bandel dan sombongakan statusnya sebagai anak kepsek di SMA ini. dia berjalan sampai melewati tempat kami berdiri, dan dengan tanpa merasa berdosa sedikitpun dia berkedip sambil mengeluarkan lidahnya, seakan dia sedang melihat ayam goreng baru matang pada ku dan terus berlalu.
            “Hahahahamemang jodoh itu tidak kemana,” ledek Deni.
            “Ihh.. kataku sambil mengeliat-geliatkan badan.
            “Hahahah.. rasakan tuh, jurus kedipan Si Dodo.
            “Sudahlah jangan dibahas. Eh,,lihat tuh, siapa yang sedang duduk di depan perpus?” kataku mengalihkan pembicaraan sambil menunjukan telunjuk jariku kepada seseorang.
            “LATI…!” kata Deni dengan nada lirih setelah diamenengok kebelakang.
            “Lattiiiii…!!!” panggilku keras sembari melambaikan kedua tanganku.
            Latihanya tersenyum dan melambaikan tanganya kepadaku dan Deni. Terlihat wajah polos dan kulit kekuningan Deni sedikit memerah di bagian pipi. Bagaimana tidak gerogi,  Lati adalah pujaan hati seorang Deni sejak masih duduk di bangku kelas X. Lati adalah wanita idaman semua pria dia SMA ini, Selain Lati cantik, kepribadiannya yang halus, kecerdasanya yang tidak diraukan lagi, Lati mempunyai lesung pipi yang membuat dia lebih manis saat dia tersenyum. Tapi yang membuat aku bingung adalah sudah hampir 3 tahun memendam rasa, Deni sampai sekarang belum pernah bilang kalau dia suka dengan Lati. Mungkin karena dia merasa kurang percaya diri akan dirinya.
            Deni dan Lati bertemu ketika Lati membayarkan Baso pesanan Deni saat Deni lupa membawa dompet di kantin. Sejak itu pula Deni merasa jatuh cinta pada Lati. Deni hampir setiap hari sms dan mention Lati melalui Twitter.
***
            Ketika bel pulang berbunyi, kami sepakat untuk pergi ke kantin sekolah.
“Kamu mau pesen apa, Bin?”
“Aku pesen mie ayam sama es jeruk  Den.
“Oh yakarena aku lagi baik,biar aku ajah yang telaktir.
“Yang bener?oh ya udah makasih ya den, semoga si Lati tambah cinta sama kamu.
Pesanan  sangat cepat datang, kita makan sembari berbincang-bincang masalah wisuda atau perayaan kelulusan kami dari SMA. Ketika makanan kami habis tiba-tiba Deni memejamkan matanya dan tangan kananya memegang kepala, seketika dia batuk dengan keras, wajah Deni tak seperti biasanya, dia langsung lari ke kamar mandi, aku langsung mengikutinya dan alangkah terkejutnya aku saat tangan kiri dan mulut Deni berlumuran darah.
“Deni, kamu kenapa?”
“Bintang.., saat ini aku sedikit tidak enak badan,” jawabnya lirih.
“Aku antar kamu ke UKS sekarang.
“Tidak usah, Bin.., aku tidak apa-apa, ayo kita pulang saja.
“Pulang? kau gila? mulut mu penuh darah, berarti kau sakit, akan ku bawa kamu ke UKS, jawabku sambil kutarik tangan Deni.
“BINTANG..!!aku tidak apa –apa, aku bisa mengukur diriku dan kau tau itu, Deni mengatakanya dengan nada yang keras, sambil melepaskan tanganku.
Aku terdiam, aku tidak pernah melihat Deni sebegitu marahnya, ku putuskan untuk menundukan kepalaku.
 “Hmmmaaf Bin..aku membentakmu,” kata Deni dengan nada lirih sambil memegang pundakku.
“Tak apa Den, aku terlalu memaksamu. Kalau itu yang kamu inginkan, ayo kita pulang.
            Ditengah perjalanan wajah Deni terlihat begitu pucat, aku dilanda akan kekhawatiran sepanjang jalan menuju tempat tinggal Deni yang jaraknya kira-kira 300 m dari sekolahan. Semenjak aku dan Deni jatuh dari motor di hari itu, memang Deni jadi menjadi sering sakit-sakitan.
            Sesampainya di tempat tinggal Deni, Neneknya langsung menyambut dengan wajah yang khawatir.
            “Kau kenapa Den? apa yang terjadi padamu?” tanya Nenek dengan muka kekhawatiran.
            “Dia sakit nek, tadi di kamar mandi sekolah Deni....
            “Aku baik baik saja, cuman kena demam sedikit kok nek, sahutnya menyambung perkataanku yang belum usai kuucap.
Deni dibaringkan ditempat tidur dikamarnya yang penuh lukisan lukisanya itu. Dia gemar melukis, kegemaranya itu diturunkan oleh ayahnya yang sudah meninggal besama ibunya karna kecelakaan 6 tahun lalu. Semenjak itu Deni hanya tinggal dengan neneknya dan menjadi cucu yang paling disayangi.
            “Kau benar tidak apa-apa?” tanyaku.
            “Kapan sahabatmu ini berbohong?”
            “Aku khawatir dengan mu, Den.
            “Sudahlahaku tidak apa-apa. Hmm..nanti malam kau ada acara?”
            “Tidak sih, ada apa?”
            “Nanti malam jam 8, jalan-jalan ke tanggul sungai dekat jembatan yuh.
            “Kamu kan masih sakit, kalau kamu kena angin malam kamu bisa tambah sakit.
            “Itu justru membuatku lebih baik.
            “Hm..ya sudah, asal kamu senang, jawabku pasrah, aku tidak ingin membuat Deni marah yang kedua kalinya.
***
            Aku tepati janjiku. Aku siap untuk berangkat dengan memakai kaos hijau berlapis sweater pemberian Deni saat ulang tahunku yang keenam belas. Tak lama menunggu suara klakson terdengar dari depan rumah. Aku langsung merapikan pakaianku dan kini aku sudah siap.
            “Ayahibu , Bintang pamit mau jalan-jalan ke tanggul dengan Deni.” pamitku, ketika ayah dan ibuku sedang duduk santai di ruang keluarga.
            “Kamu sudah makan malam Bin?” tanya Ayah.
            “Sudah ayah, sahutku sambil bergegas keluar.
            “Jangan lupa titip salam Ibu pada nenek Deni..!” teriak Ibu.
            Aku hanya mengcungkan kedua jempolku, sembari membuka pintu.
            Keluargaku dengan keluarga Deni memang amat dekat. Deni adalah satu-satunya orang yang diperbolehkan ayah dan ibuku untuk membawaku jalan-jalan dimalam hari. Ayah dan ibuku sudah tau kalau aku dengan Deni adalah sahabat yang dekat.
            “Nahkeluar juga kamu Bin, lama banget kamu dandanya kayak mau kondangan.
“Itu tuh ibuku titip salam buat si Nenek.
            “Oh, iya sip.”
            “Gimana kamu Den? sudah sembuh? tanyaku sembari membonceng.
            “Udah, kamu tenang saja, aku sudah sehat kok.”
            Tanpa membuang waktu, stater dinyalakan oleh Deni, kami siap tuk pergi ke tanggul. Kami sejak dulu sangat sering pergi ke tanggul sungai dekat jembatan di Jalan  Durian itu, hampir sepulang sekolah kita tak lupa mampir kesana. Aku masih ingat ketika aku mendapat nilai 50 saat ulangan fisika.Saat itu aku duduk di atas rumput sambil mengambil nafas dalam-dalam dengan muka yang kurang ceria. Berbeda dengan Deni, dia tak secemberut diriku, bagaimana tidak? Dia mengantongi nilai 78. Melihat wajahku yang kusut diiringi dengan air mata yang tak luput dari suasana hatiku, Deni tiba-tiba berkata padaku.   
“Bin…tau tidak? Kata Dodo kalau Bintang sedang cemberut jadi kelihatan lebih cantik loh, bahkan lebih cantik dari pada Katty perry,” hiburnya. Namun hal itu tak mengubah perasaanku.
”Mana coba nilai yang membuat mu seperti ini?” lanjutnya sambil menggledah isi tasku.
”Ini???” katanya ketika menemukanya sambil memperlihatkanya padaku. Ketika itu aku hanya termanguk, dan di saat itu pula tiba-tiba dia mengsobek-sobek lembar jawabku dan menempelkannya dibawah hidung dan bergaya seperti Pak Sugeng, Guru Fisikaku.
“Hello student how are you? Physic is very beautiful hahahaha, kata Deni sambil mengikuti gaya bahasa dan gerak tangan seperti Pak Sugeng.
            “Sttt..!! Tidak sopan kamu, Den, jawabku tersenyum.
            “Nah begitu dong. Jangan terlalu suram, ayo senyum. Kamu mau jadi korban kedipan si Dodo? hahaha..”
            Akhirnya kita pun serentak tertawa dan disusul dengan canda, goyangan dan teriakan kami. Hmm.. Itu benar mengenang.
            Tak terasa aku dan Deni sudah sampai tanggul, kita turun dan langsung aku hentakan tubuhku ke rumput yang disusul dengan Deni yang langsung berbaring di sampingku. Kita menghirup nafas dalam dalam dan menghembuskanya bersama dan disusul dengan tawa kami.
            “Deni.
            “Iya?”
            “Jika kamu memilih, kamu hidup di dunia ini ingin menjadi seperti apa?”
            “Hmmaku ingin jadi bulan yang disana itu, jawabnya sambil menunjuk
            “Aku ingin dapat terus terlihat indah bersama bintang, yaitu kamu Bin. Kalau kamu?” lanjutnya.
            “Aku ingin seperti matahari.
            “Kenapa? Bukannya lebih cocok kamu jadi bintang saja?”
            “Tidak, aku tidak ingin seperti bintang. Walau sinarnya terang dan begitu indah, bintang tidak dapat menyinari dunia. Bintang tidak dapat memberi manfaat dan kebahagiaan yang besar kepada semua orang disaat malam datang.
            “Terus, kenapa kamu ingin menjadi matahari?
            “Aku ingin seperti matahari karena walaupun sinarnya tak seindah bintang dan sinarnya dapat menyinari seluruh dunia. Sinarnya dapat memberi manfaat dan kebahagiaan kepada orang lain. Bahkan saat matahari terlelap, sinar yang indah itu pun masih dapat dirasakan oleh orang-orang melalui seberkas cahayanya yang dititipkan kepada sang bulan.
            “Uh,,, aku tidak tau bagaimana kamu memikirkan itu,” jawab Deni dengan nada santai.
            “Hmm,” jawabku sembari tesenyum.
            Hampir setengah jam kami berada di tanggul tersebut. Dan sekitar 2 jam lagi kami akan menghabiskan waktu di atas rumput tanggul ini.Kami bermain tebak-tebakan, bercanda, membicarakan Lati dan beberapa wanita lain dan tak jarang juga handphone. Kami tak luput dari kebersamaan kami yang hampir tiap menit kita selalu memasang wajah-wajah aneh dan narsis untuk difoto. Kami tidak berdua, kami menghabiskan waktu bersama ribuan bintang dan seorang rembulan yang ada diatas sana. Ditambah lagi dengan serangga-serangga dan beberapa kodok yang senantiasa mengisi kesepian dengan suara-suara mereka.
            Tak berapa lama, tiba-tiba handphone Deni berbunyi tanda SMS masuk. Deni membukanya perlahan-lahan dan membacanya dengan sangat serius.
            “Dari siapa, Den?” tanyaku penasaran.
            Namun Deni hanya diam tidak menghiraukan pertanyaanku.
            Deni!” kataku dengan nada yang sedikit keras.
“Ini SMS dari Bunga, temannya Lati,” jawabnya dengan nada dan ekspresi tercengang seperti baru melihat wanita cantik.
“Dia bilang kalau Lati dengan pacarnya baru saja putus..!!! lanjutnya dengan nada keras, ekspresi senang dan sedikit loncatan rasa kegembiraan.
Deni meluapkan kegembiraanya dengan menari-nari dan bernyanyi-nyanyi di depanku. Aku tertawa sendiri melihat Deni. Aku senang melihat Deni senang. Deni belum pernah sesenang ini sebelumnya.
“Kapan?” tanyaku membuat tarian Deni berhenti.
“Kapan apanya?”
“Kapan kamu akan bilang kalau kamu benar-benar sayang dengan Lati?”
“Bintang... Semua ini tidaklah harus diungkapkan dengan kata-kata, iya kan?”
"Memang benar seperti itu, tapi Lati itu perempuan. Lati butuh tindakan nyata.
“HmmmJadi, kamu ingin aku mengatakan itu semua pada Lati ?”
“Besok pagi Lati ada latihan menari di sekolah bersamaku, sekitar jam 10 kita selesai latihan. Aku harap kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Diterima atau tidaknya dirimu, menurutku tidaklah begitu penting. Tapi yang terpenting menurutku, kamu sudah berani mengatakan isi hatimu. Tapi tenang saja, fisikmu sudah mendukung kok.”
“Oke kalau begitu. Kan aku luluhkan hatimu Lati” jawabnya dengan membusungkan dadanya seakan seorang pahlawan yang akan menyelamatkan tuan putri.
“Berlebihan kamu, tapi baguslah kalau begitu,” kataku sambil tersenyum.
Tak terasa 2 jam berlalu, jarum jam menunjukan jam 22:30. Kami bergegas untuk pulang ke rumah sebelum ayah dan ibuku marah.
***
            Jarum jam sudah mendekati angka sepuluh pagi, tapi si Deni belum juga kelihatan batang hidungnya yang pesek itu. Dia benar-benar payah. Padahal tadi malam tinggi sekali dia bicaranya.
            “Bintang..” Lati menyapaku.
            “Iya, ada apa?” Jawabku sedikit terkejut.
            “Kamu sedang apa duduk-duduk di depan kelas? Menunggu seseorang?”
            “Ah, tidak. Aku hanya sedang istirahat saja.
            “Oh,seperti itu. Ya sudah aku pulang dulu ya, Bin.
            “Ehhhhh... jangan!!” tegurku sambil memegang tangannya.
            “Kenapa, Bin?” tanyanya dengan wajah heran.
            Belum sempat aku jawab dari jauh terlihat seseorang yang tak asing sedang berlari menuju arah kami.
            “Nah... Ada seseorang yang ingin berbicara padamu. Tuh...” jawabku lega dengan menunjuk jariku pada Deni yang sedang berlari.
            Deni terlihat terburu-buru sekali, apa lagi dia sudah melihat Lati yang hampir pulang. Deni berlari begitu cepat seperti saat dia mengembalikan kacamataku kemarin. Dia berlari dari ruang 14 ke ruang tari kurang dari lima belas detik. Dia memang pelari yang handal.
            “Eh.. kemana saja kamu, jam segini baru datang?” tanyaku dengan nada sedikit keras.
            “Ha..ha..ha..ha, motorku mogok dan tidak ada bengkel. Makanya, kutuntun motorku sampai sekolah, jawabnya dangan nada tersendat-sendat karena kelelahan.
            “Hai Deni, sapa Lati menyambung.
            “H ha hai Lati, jawab deni sedikit kaku.
            “Ya sudah.. aku mau istirahat dan duduk-duduk dulu di tanggul. Good luck ya Den. Aku yakin kamu bisa. Sampai jumpa Lati, sampai jumpa Deni, kataku sambil melambaikan tangan.
            “Iya... hati-hati, jawab mereka bersamaan.
***
Deni
            Bintang pergi meninggalkan kami berdua. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan saat dia pergi. Padahal ini tidak ada di skenario tadi malam.
            Kupandang wajah Lati dengan rasa takut dan malu. Jujur baru kali ini aku merasa jantungku seperti mau meledak. Padahal kita sering SMS maupun teleponan, tapi sangat berbeda rasanya ketika harus berhadapan seperti ini.
            “Deni kau baik-baik saja?”
            “Oh iya, Aku mau bicara sesuatu padamu, jawabku sedikit terkejut.
            “Iya???”
            “Ehm.. Kamu pernah menyadari tidak kalau kamu cantik?” tanyaku salah tingkah.
            “Maksudmu?” tanyanya sambil mengkerutkan kening.
            “Iya, maksudku kamu cantik dan itu membuat aku cinta sama kamu, jawabku spontan.
            “Kalau aku tidak cinta sama kamu gimana?”
            Dunia terasa gelap. Hatiku terasa tersayat-sayat oleh silet. Hampir setengah menit aku menahan nafasku mendengar kata-kata itu. Aku hanya diam dan menunduk.
            “Deni, kamu itu orangnya baik. Dan itu juga yang membuat aku juga sayang padamu.
            Aku seperti mendengar suara dari surga. Pukullah pipiku sekencang mungkin, agar aku tahu ini bukanlah mimpi.
            “Kamu serius??”
            Lati hanya menganggukan kepalanya.
            Aku benar-benar bahagia hari ini. Aku belum pernah merasakan rasa gembira yang teramat seperti ini sebelum ibuku membelikan video game saat usiaku 7 tahun. Inginku peluk Nenek dan Bintang. Inginku menari-nari seperti tadi malam. Tapi aku harus menjaga harga diriku didepan Lati yang sekarang menjadi pacarku. Lati hanya tersenyum melihat itu semua.
***
            Sudah genap dua minggu kita menjalin hubungan. Hampir disetiap malam aku pergi jalan-jalan dengan Lati. Sudah kita lewati tahap perkenalan-perkenalan yang lebih dalam dengan seringnya kita berbincang dan membicarakan diri kita sendiri. Bahkan kita sudah mempuyai pangilan sayang, ’Lade’ yang artinya Lati Deni untuku dan ‘Dela’ yang berarti Deni Lati untuk Lati.
            Malam ini adalah malam minggu. Kita sudah berjanji untuk pergi menonton bioskop di jalan Rajawali dekat sebuah mini market.
            “De, kamu tidak dingin?tanyaku.
            “Sedikit, tapi naik motornya jangan cepat cepat dong, aku takut.
            “Iya, pakai helm ini saja biar tidak dingin, kataku sambil kulepas helm ku.”
            Bioskop berjarak 300m lagi, aku harus sampai disana kurang dari 10 menit lagi, kalau tidak, bioskop akan tutup.
            Ku sedikit menambah kecepatanku, dihadapanku tinggal ada satu tikungan dan bioskop pun akan terlihat. Aku membelokan arah setangku ke arah kiri dan alangkah kagetnya diriku ketika melihat seorang kakek-kakek sedang menyebrang.
            Aku terkejut, aku segera menghindar akan tetapi itu membuatku kehilangan kendali dan akhirnya kita berdua jatuh diatas kasarnya permukan aspal. Aku terpental jauh, aku menabrak tumpukan batu kerikil di pingir jalan.
            Aku memuntahkan darah dari mulut lagi, pandanganku buram, bibirku tak lelah menyebut Tuhan, di tengah kekhawatiranku akan keadaan Lati sekarang.
***
            Dimana aku ini? Dimana orang-orang berada? dimana nenek? semua terlihat putih, tempat macam apa ini? apakah ini yang disebut alam kematian?
            Hatiku penuh dengan pertanyaan, aku berjalan didalam tempat yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku berteriak sekeras mungkin dengan harapan seseorang akan muncul. Aku terus berjalan sambil memanggil Nenek sembari ku telusuri jalan setapak ini.
            Tak lama ku berjalan aku melihat seorang perempuan seumuranku sedang duduk dengan kepala menunduk. Perempuan itu tak asing dimataku, itu seperti Bintang.
            “BINTANG..!!!!”panggilku sembari berlari mendekat.
            Mendengar panggilanku Bintang mengangkat kepalanya dan berdiri.
            “Bintang kenapa kau ada disini? tempat apa ini? badanmu dingin sekali?” tanyaku sambil memeluknya.
            “Deni, bagaimana keadaanmu sekarang? bagaimana hubunganmu dengan Lati?” tanyanya lirih.
            “Aku dan Lati baik-baik saja Bin.”
            “Sukurlah..Den aku ingin memberimu sesuatu, katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
            “Ini...Terimalah, lanjutnya sembari tangannya memberikan sebuah benda yang bersinar ke tanganku.
            “Apa ini?”
            “Kau pernah berkata padaku kau ingin seperti bulan, dan aku pernah berkata padamu, aku ingin seperti matahari. Tapi matahari sepertiku hanya akan memancarkan cahayanya pada siang hari, dan jika malam datang matahari akan terlelap dan akan menitipkan cahayanya pada bulan, yaitu kamu Den. Dan aku rasa sekarang saatnya aku terlelap dan itu adalah seberkas cahaya itu.
            “Kau tak berubah, kau masih menggunakan bahasa-bahasa yang sulit aku pahami, jawabku jujur.
            Bintang hanya tersenyum mendengar jawabanku.
            Kulihat Bintang terus menurus. Dia menjauh, semakin menjuh, semakin kulihat dia, semakin jauh pula dirinya. Ku coba melangkahkan kaki ku, terasa berat sungguh kakiku ini. Cahayanya redup, mungkin karena cahayanya telah di berikan padaku.
***
            Mataku sedikit sakit saat ku buka. Terlihat dengan samar pandangan wajah nenek penuh harapan dan pandangan semua sanak saudarku yang terlihat khawatir.
            “Cucuku kamu sudah sadar? Kau tak sadar selama beberapa hari,” kata Nenek lirih.
            “Nenek,” jawabku singkat sambil merasakan sakit kepala yang masih kurasa.
            Ketika sadar aku hanya diam. Nenek dan saudaraku tidak banyak bertanya kepadaku, mereka tahu aku sedang tidak ingin ditanyai.
            “Nenek,” panggilku lirih.
            “Iya ada apa? kau mau minum?”
            “Bintang, Bintang dimana dia sekarang?”
            “Ehm….dia baik-baik saja, dia sedang pergi,” jawab ragu-ragu.
            Hampir sepuluh hari aku dirawat di ruamah sakit ini, dan sepuluh hari juga aku tidak bertemu Lati yang sedang dirawat dirumah sakit yang berbeda. Aku juga belum pernah bertemu Bintang, dia belum juga pulang. Dasar sahabat yang kurang baik, masa sahabatnya yang habis kecelakaan malah pergi, memangnya dia tidak rindu padaku apa.
            Keesokanya dokter bilang hari ini aku sudah sehat dan boleh pulang, bersamaan Lati yang sekarang juga diperbolehkan pulang. Setelah aku menginjakan kakiku di lantai rumah, sungguh terasa berbeda dengan suasana di rumah sakit. Tidak ada bau obat dan inpus disana sini.
            Tak lama dari setibanya aku pulang, seseorang mengetuk pintu rumah. Aku buka pintu dan terlihat seorang wanita dengan lesung pipi dan sebuah luka di lututnya tersenyum padaku.
            “Lade tidak lama bertemu,” katanya langsung memeluku.
            “Aku rindu padamu,” lanjutnya.
            Tetes air mata berjatuhan. Aku lepas pelukan Lati dan kupeluk Lati lagi. Aku bigung bagaimana harus mengungkapakan rasa rinduku padanya. Tak lama kami bersama, aku teringat pada Bintang, aku yakin dia pasti sudah pulang. Aku dan Lati memutuskan untuk pergi ke rumahnya sekarang.
            “Nenek…Deni pamit ke rumah Bintang,” pamitku sambil menuju pintu keluar.
            “Tunggu dulu Deni !” jawab nenek sedikit keras.
            “Ada apa nek?”
            “Sekarang kalian duduk di depan nenek sini, ada yang ingin nenek bicarakan pada kalian berdua.”
            Mendegar perkataan nenek, kami mengurungkan niat kami, dan kami pun duduk didepan nenek dengan wajah ingin tau.
            “Ini soal Bintang,” kata nenek membuka pembicaraan.
            “Hah? Bintang nek?”
            “Bintang adalah anak yang baik, dia selalu tersenyum ketika bertemu nenek, dia selalu membantu nenek menyapu, mencuci piring dan membersihkan kamarmu ketika dia datang dan kau sedang pergi dengan Lati. Kau beruntung mempunyai sahabat seperti Lati,” kata nenek  sambil meneteskan air mata.
            “Saat dia sedang membersihkan kamarmu, dia teramat terkejut mendengar kalian berdua kecelakaan, sama terkejutnya dengan nenek. Wajahnya  teramat panik, apa lagi saat dia menlihat kalian berdua terbaring penuh darah. Dia begitu khawatir, air matanya menetes deras, dia mencoba membangunkan kalian berdua,” lanjut nenek yang memebuat aku dan Lati menenteskan air mata.
            “Saat dokter bilang kalau kau mengalami pendarahan yang berat dan Lati mengalami keruskan dibagian mata kirinya, semua saudarmu menangis dengan kencang, nenekmu ini lemas tak berdaya, tantemu langsung pingsaan, semua orang menangis,” kata nenek saat tangis nenek mengencang.

            “Dan dokter bilang dalam waktu kurang dari 1 jam kau tidak mendapat donor darah yang cukup, mungkin nenek tidak bertemu kau lagi disini.”
            “Dan disaat itu pula Bintang langsung duduk disamping nenek yang sedang menangis. Dia memeluk nenek, dia berkata pada nenek kalau dia akan melakukan apapun demi sahabatnya, yaitu kamu.”
            “Apa yang Bintang perbuat nek?”
            “Dia berlari menemui dokter, entah apa yang dikatakannya sehingga dia terlihat begitu memaksa. Alangkah terkejutnya kami semua ketika tahu kalau Bintang memutuskan untuk diambil darahnya dan didonorkan padamu agar kamu tetap hidup. Kami mencoba menghentikan dirinya karena terlalu beresiko. Namun apa daya, saat nenek menghentikanya,  nenek melihat sisi lain wajah Bintang. Wajahnya penuh tekad, nenek tak kuasa melihat wajahnya itu dan memperbolehkanya.”
            “Namun…Tuhan berkehendak lain. Setelah Bintang dioperasi, kondisimu semakin membaik, berbeda dengan Bintang yang tubuhnya memucat. Kondisi tubuhnya tidak stabil. Saat itu dia sempat menyuruh nenek mengambil pena dan selembar kertas, entah apa yang ditulis dia saat itu. Kertas itu kemudian dilipat olehnya dan diberikan pada nenek untuk diserahkan padamu suatu hari.”
            “Nenek ingat betul kejadian itu, saat itu Bintang terengah-engah, terlihat sulit sekali dia bernafas. Bintang membisikan sesuatu pada dokter. Dia meminta dokter untuk mengambil mata kirinya untuk Lati sebelum akhirnya Bintang pun….” Nenek tidak bisa melanjutkan kata-katnya karena begitu derasnya air matanya yang keluar.
            “Hanya ini amanat Bintang yang diberikan pada nenek,“ kata nenek memberiku sebuah lipatan kertas.
            Kuterima lipatan itu sambil berkali-kali tanganku mengusap air mata ini. Aku dan Lati membukanya dengan perlahan.
            Untuk rembulan diatas sana.
            Emosiku memuncak, aku melihat rembulan hampir jatuh dari tempatnya. Ceroboh sekali bulan itu, dia terlelap dalam tugasnya.
            Untuk rembulan diatas sana.
            Sahabatku, sejak dekatnya hubunganmu dengan Lati, hidupku menjadi lebih berarti. Takan kulihat lagi wajah Deni yang muram. Sahabatku, sejak kedekatanmu dengan Lati kau jarang menemuiku, kau jarang bercanda tawa lagi denganku, bahkan ditanggul aku harus duduk sendiri tanpa hiburmu.


Untuk rembulan diatas sana.
            Aku titipkan cahayaku padamu, aku rasa ini sudah saatnya aku terlelap. Tugasku untuk menyinari dunia sudah berakhir. Aku harap kau bisa menjaganya dengan baik. Aku juga titipkan pengelihatanku pada Leni. Aku ingin, walau aku jauh disini aku selalu melihatmu, ketika kamu tersenyum, ketika kamu sedih dan ketika kau sedang mengerjakan tugas fisikamu.
            Untuk rembulan diatas sana.
            Tetes air mata… Mengalir di sela derai tawa, Selamanya kita… Tak akan berhenti mengejar… Matahari.
            Aku menundukan kepalaku karena begitu derasnya air mata ini mengalir. Lati menangis memeluk diriku yang saat itu dia juga ikut membacanya. Aku bingung apa yang harus kukatakan.
***
            Aku melihat kearah langit di tengah rumput tanggul ini. Sangat sepi sekali rasanya, mungkin ini yang dirasakan oleh Bintang saat itu.
            “Bintang, kau memang bodoh,” kataku lirih.
            Aku pandangi bintang-bintang dilangit, diantara bintang itu terdapat bintang yang paling bersinar. Ku pandangin bintang itu, aku yakin itu adalah Bintang yang sedang tesenyum pada diriku.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar